IN-DO-NE-SIA dijajah Belanda sekian abad dan dijajah Jepang. Masyarakat bak kuli yang diperlakukan secara keji, namun semua berakhir ketika Jepang mendirikan sekolah-sekolah dan mendidik rakyat Indonesia untuk mengusir penjajah lainnya yang akan datang. Setelah mendapat ilmu dari sekolah yang dibangun Jepang dan setelah berhasil membantu Jepang mengusir bangsa lain yang ingin menjajah Indonesia, kali ini giliran Jepang yang kita usir. Apa sebab kita bisa mengusir Jepang..? Maka saya jawab dengan tegas, PENDIDIKAN.
Indonesia memang sudah berhasil bangkit dari keterpurukan yang pernah dialami enam puluh delapan tahun yang lalu. Beberapa sektor sudah bisa dikembangkan secara perlahan-lahan oleh Indonesia Bahkan kita tidak mungkin dapat menghitung berapa perbedaan pemasukan Indonesia saat ini dengan saat baru merdeka. Kalaupun kita mencoba menebak-nebak angka pertumbuhan devisanya ,sudah pasti didapat angka 10 ,20,30 kali lipat atau bahkan beratus-ratus kalii lipat dari zaman penjajahan.
Pada sektor teknologi ,Indonesia sudah cukup dikatakan mapan. Pada sektor budaya ,Indonesia punya beragam karya. Pada sektor pertahanan ,Indonesia sudah sedikit lebih canggih. Termasuk berkembangnya prestasi anak bangsa dan sektor-sektor lainnya. Lalu bagaimana dengan sektor pemerintahan dan pendidikannya..?
Terjadi pro dan kontra memang apabila
kita berbicara tentang pemerintahan dan pendidikan di Indonesia. Semua
masyarakat pun berselisih paham bahwa pemerintah kita saat ini jauh dari yang
diharapkan atau dicita-citakan. Berkembangnya sektor pemerintahan bukan pada
hal yang baik , justru lebih kearah yang menghawatirkan
Kasus demi kasus menimpa pemerintahan
Indonesia secara berbelit-belit. Berkembangknya teroris ,begitupun kasus
korupsi yang turut berkembang dan masih banyak lagi kasus yang negatif sedang
dihadapi Indonesia. Sayangnya perkembangan-perkembangan tersebut tidak
berbanding lurus dengan berkembangnya hukum di Indonesia menjadi semakin kuat.
Sementara pendidikan Indonesia yang katanya
diberikan dana paling besar dari pemerintah juga sudah berkembang. Prestasi
anak bangsa mulai banyak diketahui oleh dunia. Akan tetapi ,pelajar Indonesia
juga seringkali menitikberatkan lebih pada nilai daripada karakter. Secara
tanggap ,pemerintah mengubah kurikulum berbasis “Pendidikan Karakter”. Namun
aksi tanggap terhadap tingkah laku pelajar Indonesia rasanya terlalu lamban
karena baru dimulai pada tahun ajaran 2013/2014.
Aksi tanggap pemerintah ternyata sudah
didahului oleh seorang anak belia sesusia SMP. Apa yang dia lakukan ? Anak
tersebut sengaja menghadiri rutinitas
akhir tahun pelajaran yang diselenggarakan pemerintah setiap bulan April, Ujian
Nasional. Dia mengikuti UN tidak hanya di satu sekolah, akan tetapi menggembara
ke beberapa sekolah, pastinnya ikut serta mengerjakan soal UN yang diberikan
pemerintah.
Akan tetapi ada satu hal yang menarik dari anak tersebut.
Dia bukan hanya mengerjakan soal UN namun dia juga mengadakan sebuah
penelitian.
Lantas apa data yang dia dapatkan dari
aksi menggembarannya itu ? Dia memperoleh data yang mengejutkan sekaligus
menghawatirkan. Jadi, aksi menjelajah ke beberapa sekolah itu untuk menghitung
berapa siswa yang jujur dalam mengerjakan Ujian Nasional. Ternyata data yang
diperoleh adalah banyak siswa yang lebih mengandalkan teman atau apapun
daripada dirinya sendiri.
Data yang dia peroleh, lantas dibuat surat
pemberitahuan kepada pemerintah pusat untuk dijadikan gambaran mengenai kondisi
pendidikan kita saat ini. Namun, tetap saja tradisi mencontek tetap berjalan
karena pemerintahan diam akan penelitian yang dilakukan anak ajaib itu.
“Jika orang Indonesia kuliah di luar negeri maka ia
bisa melaluinnya dengan lancar tanpa perlu susah payah. Nah..kalau orang
Indonesia kuliah di negaranya sendiri..?” Bapak
Kirwanto, Guru Bahasa Indonesia saya kelas X, berujar.
Pendidikan di Indonesia, sejatinnya
sudah terencana sangat baik, tidak kalah dari negara luar, disiplin pula. Kalau
berangkat sekolah terlambat beberapa menit, pintu gerbang sudah rapat terkunci,
baru dibuka jika pihak sekolah sudah mengizinkan. Padahal di luar negeri,
sekolah baru buka sekitar pukul 09:00 WIB.
“Anak SMA kelas X sudah mendapat pelajaran yang
semestinya baru mereka dapatkan ketika kuliah. Terlalu dini bagi mereka
mempelajari seperti yang mereka pelajari saat ini. Ini bukan pelajaran anak SMA
tapi pelajaran anak Kuliah.” Bapak Kirwanto
melanjutkan.
Jika kita bandingkan dengan materi anak
sekolahan zaman sekarang, maka sejatinnya ucapan dari guru saya adalah benar.
Buku pelajaran kelas 1 SD sudah dimuat sisipan soal UN kelas 6. Buku pelajaran
kelas 1 SMP sudah dimuat sisipan materi UN kelas 3 SMP. Buku materi kelas 10
SMA ada juga sisipan materi UN kelas 3 SMA termasuk soal-soal masuk perguruan
tinggi. Waraskah..??? seharusnya
tidak waras.
Memang ide yang sangat cemerlang karena
dengan dimuatnya materi soal UN di semua tingkat kelas dapat dijadikan pelatihan
dan pengembangan kemampuan anak dalam berfikir. Namun, jauh pemikiran yang
lebih cemerlang lagi apabila soal UN diberikan hanya kepada siswa yang akan
menghadapi UN, bukan adik-adiknya. Toh, setiap tahun soal UN selalu berbeda,
ditambah-tambahkan bahkan diperumit. Awalnya, hanya 1 paket, kemudian menjadi 5
paket dan sekarang sudah 20 paket.
Lalu apa pula yang membuat pemerintah
mengubah sistem pendidikan di negri ini dengan “Pendidikan Karakter..? Apa pula yang menyebabkan pemerintah merubah
jumlah paket soal di setiap kelas yang awalnya hanya 1 menjadi 20 paket.
Padahal dalam ruang UN, ruang yang juga merupakan tempat uji mental itu
ditempati oleh 20 siswa..? Kecurigaan...?
Jika memang benar alasan pemerintah
membuat 20 paket soal karena alasan kecurangan, maka sejatinnya pemerintah
salah mencerna. Lantas peserta didik terdahulu yang saat UN menggunakan sistem
1 paket dan 5 paket berlaku curang..? Belum tentu. Apakah pemerintah dapa memastikan bahwa siswa
yang mengenakan sistem 20 paket berlaku jujur..? Belum tentu juga.
Di dunia ini ada 3 hal yang paling sulit dilakukan
oleh orang tua kepada anaknya. Pertama..Orang tua membesarkan anaknya, Kedua
adala memberi anak pendidikan untuk meraih masa depan yang cerah, kemudian
ketiga ialah menikahkan anaknya ketika dewasa. (Tolong koreksi jika saya salah).
Mendidik termasuk salah satu dari 3
perkara yang paling sukar dilakukan, akan tetapi itu wajib hukumnya bagi orang
tua. Dalah hal ini pemerintah juga wajib membantu warganya, termasuk membantu
pelajarnya, karena tidak semua orang mampu melakukannya. Tentulah untuk
melakukan 3 hal di atas butuh kesadaran, biaya dan pengorbanan yang tidak
sedikit.Kalau pada akhirnya generasi pelajar dicurigai kemampuannya oleh
negara, bagaima negara mau mengirim pelajarnya ke negeri orang..?
Sayangnya langkah pemerintah mengubah
jumlah paket soal di UN tahun 2012/2013 banyak menemui kesulitan. Macam-macam
saja pemerintah berdalih. Mulai dari terlambatnya distribusi soal, paket soal
yang salah masuk amplop cokelat ( Jelas, orang paketnya 20 ), sampai lembar jawab
komputer yang rusak (sangat tipis).
Dalam hal ini, bukan hanya waktu
mengerjakan UN yang ditahan, akan tetapi mental siswa juga sangat tertekan.
Siswa harus mengatur ulang kondisi fisik dan mental kembali siap seperti sedia
kala ( Iya lah...belajar 3 tahun ditentukan atau dipertruhkan hanya dalam waktu
4 hari).
Luar biasa detektif usia SMP kita yang
sempat memberi surat kepada pemerintah. Tanggapan pemerintah saja yang menambahkan
jumlah paket sebenarnya juga baik. Namun, persiapan saja yang sangat memprihatinkan.
Pendidikan Indonesia harus mulai
diperbaiki, dan apabila sudah baik memang perlu untuk terus dikembangkan. Akan
tetapi UN bukanlah satu-satunya cara membuktikan kualitas anak bangsa, Ada atau
tidaknya UN saya pikir bila memang sistemnya sudah baik, pastilah akan
menghasilkan anak bangsa yang juga baik. Karena sesuatu yang baik akan menghasilkan
yang baik pula dan sesuatu yang kurang baik akan menghasilkan yang juga kurang
baik.