Halaman

31/03/14

Mana Anggaran Kita ?

Isabell Alika Putri | 12.50 |

Bicara masalah politik itu tidak boleh lepas dari ekonomi, sosial dan lainya. Begitu juga ketika menangani masalah ekonomi, jangan tinggalkan politik, sosial, budaya, pertahanan dan sebagainya.  Mengapa ? Karena sesungguhnya politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan termasuk pendidikan adalah satu paket.


Entah kebetulan atau tidak yang pasti ketika saya di kelas 2 SMP dan SMA, kelas saya terletak tidak begitu jauh dari perpustakaan. Hal tersebut memaksa saya memanfaatkan waktu istirahat untuk sekedar membaca buku daripada jauh-jauh ke kantin.  Saya pribadi (ketika itu) lebih tertarik membaca novel daripada buku yang lain termasuk buku pelajaran. Toh, buku pelajaran sudah menjadi makanan sehari-hari  di kelas. Sampai pada akhirnya saya berpaling ke buku-buku ilmu terapan. Adalah teman saya bernama Moch Khosim meminjam buku berudul “ Kulit Kacang dan Isinya .“ Perlu diketahui bahwa buku tersebut membahas tentang dua sisi kehidupan yang saling berlawanan. Saya sempat pinjam buku yang dipinjam teman saya dari perpustakaan itu dalam semalam. Rasa kurang puas timbul ketika saya ingin mengembalikan buku tersebut kepada si peminjam karena buku telah membuat saya berpaling dari novel-novel. Saya kecil dahulu mengagung-agungkan novel, akan tetapi saya berfikir bahwa novel menceritakan hal-hal sandiwara yang penuh rekayasa walaupun nilai moral bertebaran di dalamnya. 

Pada suatu hari kamis di waktu istirahat saya berkunjung ke perpustakaan berniat meminjam buku Sejarah dan PKn, akan tetapi sebuah buku dengan judul “ Lupa Endonesa- Agus Hadi Sujiwo ( Sujiwo tejo ) “ mengubah hasrat saya meminjamnya karena judul tersebut mirip dengan apa yang saya tulis pada artikel “Nama Bagsa Kami Indonesia, Agustus 2014.” Saya pun harus merelakan salah satu dari buku yang awalnya menjadi incaran saya, yaitu Sejarah. Sehingga saya hanya meminjam buku Lupa Endonesa dan PKn.

Di dalam buku Lupa Endonesa dimuat kritik sosial yang tersaji dalam bahasa terselubung,orang jawa bilang nyleneh. Menariknya, tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya adalah tokoh wayang jawa Ponokawan. Sudah bisa ditebak bahwa buku tersebut pasti bertemakan tentang IN-DO-NE-SIA...!!!. Berikut beberapa ke-nyleneh-nya tokoh-tokoh dalam buku tersebut.

1.      Seandainya Anda memilik seratus anak, seperti Kurawa itu, bisakah Anda membuat anak-anak Anda semuanya menjadi saleh ? Maka, persoalan bukan lagi filsafat hidup atau moral kebangsaan. Persoalannya adalah demografi! Bahkan ini persoalan pil KB, yang jauh bebeda dengan pil kada. Di pil KB alau lupa maka jadilah dia. Di pil kada,  sebaliknya: kalau jadi, lupalah dia! Persoalannya, Kurawa lupa pil KB. Kalau saya menteri kesehatan, Kurawa akan saya beri penghargaan. Mempunyai seratus anak dan bisa hidup semua itu saja sebuah pelaksanaan MDGs negara seperti Kurawa masih lebih tinggi dari Malaysia!
2.      Sebagian besar isi kepala pemimpin atau raja itu kuooootor sehingga botak kepala mereka perlu disamarkan dan ditutupi mahkota. Pemimpin berbeda dengan guru yang cuma mengajarkan materi.Pemimpin itu bertindak. Nah, dalam tindakan itulah kehadiran musuh tak bisa dtolak ... dalam tindakan itulah dara dan air mata kaum yang bersebrangan tak bisa dihindari ... dalam tindaakan itulah tangan-tangan kita mesti kotor. ... Dan, karena yang mengendalikan tubuh adalah otak yang berbeda di kepala, di dalam endas, maka kalau tindakannya kotor berarti kepalanya kotor dan karena itu wajib ditutup mahkota.
3.      Orang-orang pasar sekarang sombong, kambil dan teri tidak bisa ditawar ... padahal perkara pengadilan saja bisa ditawar.
4.      Dan lain-lain

Apa yang disampaikan oleh Sujiwo Tejo kurang-lebih adalah perkara yang masih hangat diperbincangkan di Indonesia. Ketiga kutipan saya di atas adalah gambaran atas kepekaan penulis kepada bangsanya sendiri. Sebuah pemikiran diambil dari perjalanan sebuah bangsa yang memiliki paket-paket pemerintahan yang menurut masyarakatnya susah dimengerti.
Seperti buku yang ditulis oleh Sujiwo Tejo dibawah ini saya tuliskan perkara yang sekarang ini diperbincangkan di banyak media, yaitu kasus Tenaga Kerja Indonesia. Semoga melalui artikel ini pemerintah serta masyarakat tidak saling menyalahkan karena perkara tenaga kerja bagaimanapun harus dilihat melalui beberapa tolak ukur.

Baru-baru ini TKW ( Tenaga kerja Wanita ) asal Indonesia mendapat sanksi hukum mati apabila yang bersangkutan tidak bisa membayar sejumlah 21 milyar rupiah. Pemerintah dalam hal ini hanya membantu 10 milyar rupiah, padahal di negara yang mempunyai tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sudah seharusnya membantu salah satu warga negaranya dari hukum mati, yakni dengan membayar 21 milyar rupiah.

Jauh sebelum kasus TKW yang menipa salah satu saudara kita bernama Satinah negara kita sudah beberapa kali menggunakan anggaran untuk menyelamatkan TKI. Indonesia seperti sudah jera harus kembali membayarkan anggarannya untuk kembali menghindarkan hukuman mati salah satu TKI nya. Maka tujuan negara melindungi segenap bangsa harus mengorbankan seluruh masyarakat lainnya. Mengapa ? Karena anggaran yang dipakai adalah milik masyarakat Indonesia dari pembayaran pajak, denda pelanggaran dan pembayaran-pembayaran lainnya.

Mengingat jatuh tempo diyat supaya tidak di hukum mati sama dengan tahun pemilu, pada kasus Satinah para calon legislatif penghuni pohon beramai-ramai ingin menyisihkan dana untuk membantu. Padahal kita ketahui Satinah bukan satu-satunya saudara kita yang mendapat hukuman ketika bekerja di negeri orang. Kasus TKW adalah kasus yang sudah lama terjadi, mengapa baru kali ini ketika hari pemilihan umum semakin dekat mereka rela ikut turun tangan ?

Pribahasa 'dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung', saya rasa keputusan hukum suatu negara memag harus diikuti setiap orang yang tinggal dan menetap disana. mungkin suatu saat para TKI harus bisa memahami dulu segala aturan hukum suatu negara sebelum berniat untuk kerja disana, agar tidak ada lagi pelaku "korban" hukuman mati alias Satinah lainnya, meski katanya banyak TKI indonesia yang menunggu untuk dihukum - Agan Kaskus


Kasus TKW tidak sepenuhnya salah pemerintah. Di negara yang masih melindungi Hak Asasi Manusia 
 memang seharusnya negara melindungi hak saudara sebangsa, yaitu hak untuk hidup. Akan tetapi negara tidak serta-merta memperlakukan protect yang menurut saya berlebihan. Perlu di kaji terlebih dahulu sistem hukum dan peradilannya dimana tempat mereka berada.

Apakah tenaga kerja yang dikirimkan legal ? Apakah tenaga kerja kita membunuh dan ada bukti-buktinya lalu mengakui perbuatannya di depan hukum? Apakah tenaga kerja kita membunuh dan kemudian sibuk berdalih menutup-nutupi perbuatannya di depan hukum? Ataukah hanya akal-akalan dari bangsa lain untuk menguras pemerintah kita menghabur-haburkan anggarannya ?

Jika tenaga kerja tersebut benar tidak membunuh atau mungkin membunuh karena akan, diperkosa misalnya. Maka pemerintah sudah seharusnya dan sepantasnya melindungi hak untuk hidup dari tenaga kerja tersebut. Akan tetapi apabila tenaga kerja sengaja membunuh karena akan, merampas kekayaan majikan misalnya. Maka tenaga kerja tersebut harus menjalani hukum sesuai dengan sistem tempat dia bekerja. Dengan demikian tidak perlu repot-repot mencari juru bicara dan pemerintah tidak perlu membayar uang diyat, itu merupakan kepentingan pripadi daripada si tenaga kerja. Masyarakat dan caleg penghuni pohon tidak perlu mengumpulkan dana sekedar cari simpati. Sekali lagi, TIDAK PERLU....!!!

Karena tidak mungkin negara main-main dalam membuat sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan. Termasuk tenaga kerja yang sudah diatur dalam paket sistem pemerintahan. 

SELESAI...