Bicara masalah politik itu tidak boleh lepas dari
ekonomi, sosial dan lainya. Begitu juga ketika menangani masalah ekonomi,
jangan tinggalkan politik, sosial, budaya, pertahanan dan sebagainya. Mengapa ? Karena sesungguhnya politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan termasuk pendidikan adalah satu paket.
Entah kebetulan atau tidak yang pasti ketika saya di
kelas 2 SMP dan SMA, kelas saya terletak tidak begitu jauh dari perpustakaan.
Hal tersebut memaksa saya memanfaatkan waktu istirahat untuk sekedar membaca
buku daripada jauh-jauh ke kantin. Saya
pribadi (ketika itu) lebih tertarik membaca novel daripada buku yang lain
termasuk buku pelajaran. Toh, buku pelajaran sudah menjadi makanan
sehari-hari di kelas. Sampai pada
akhirnya saya berpaling ke buku-buku ilmu terapan. Adalah teman saya bernama
Moch Khosim meminjam buku berudul “ Kulit Kacang dan Isinya .“ Perlu diketahui
bahwa buku tersebut membahas tentang dua sisi kehidupan yang saling berlawanan.
Saya sempat pinjam buku yang dipinjam teman saya dari perpustakaan itu dalam
semalam. Rasa kurang puas timbul ketika saya ingin mengembalikan buku tersebut
kepada si peminjam karena buku telah membuat saya berpaling dari novel-novel. Saya
kecil dahulu mengagung-agungkan novel, akan tetapi saya berfikir bahwa novel
menceritakan hal-hal sandiwara yang penuh rekayasa walaupun nilai moral
bertebaran di dalamnya.
Pada suatu hari kamis di waktu istirahat saya
berkunjung ke perpustakaan berniat meminjam buku Sejarah dan PKn, akan tetapi
sebuah buku dengan judul “ Lupa Endonesa- Agus Hadi Sujiwo ( Sujiwo tejo ) “
mengubah hasrat saya meminjamnya karena judul tersebut mirip dengan apa yang
saya tulis pada artikel “Nama Bagsa Kami Indonesia, Agustus 2014.” Saya pun
harus merelakan salah satu dari buku yang awalnya menjadi incaran saya, yaitu
Sejarah. Sehingga saya hanya meminjam buku Lupa Endonesa dan PKn.
Di dalam buku Lupa Endonesa dimuat kritik sosial
yang tersaji dalam bahasa terselubung,orang jawa bilang nyleneh. Menariknya,
tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya adalah tokoh wayang jawa Ponokawan. Sudah bisa ditebak bahwa buku
tersebut pasti bertemakan tentang IN-DO-NE-SIA...!!!. Berikut beberapa ke-nyleneh-nya tokoh-tokoh dalam buku
tersebut.
1. Seandainya
Anda memilik seratus anak, seperti Kurawa itu, bisakah Anda membuat anak-anak
Anda semuanya menjadi saleh ? Maka, persoalan bukan lagi filsafat hidup atau
moral kebangsaan. Persoalannya adalah demografi! Bahkan ini persoalan pil KB,
yang jauh bebeda dengan pil kada. Di pil KB alau lupa maka jadilah dia. Di pil
kada, sebaliknya: kalau jadi, lupalah
dia! Persoalannya, Kurawa lupa pil KB. Kalau saya menteri kesehatan, Kurawa
akan saya beri penghargaan. Mempunyai seratus anak dan bisa hidup semua itu
saja sebuah pelaksanaan MDGs negara seperti Kurawa masih lebih tinggi dari
Malaysia!
2. Sebagian
besar isi kepala pemimpin atau raja itu kuooootor sehingga botak kepala mereka
perlu disamarkan dan ditutupi mahkota. Pemimpin berbeda dengan guru yang cuma
mengajarkan materi.Pemimpin itu bertindak. Nah, dalam tindakan itulah kehadiran
musuh tak bisa dtolak ... dalam tindakan itulah dara dan air mata kaum yang
bersebrangan tak bisa dihindari ... dalam tindaakan itulah tangan-tangan kita
mesti kotor. ... Dan, karena yang mengendalikan tubuh adalah otak yang berbeda
di kepala, di dalam endas, maka kalau
tindakannya kotor berarti kepalanya kotor dan karena itu wajib ditutup mahkota.
3. Orang-orang
pasar sekarang sombong, kambil dan teri tidak bisa ditawar ... padahal perkara
pengadilan saja bisa ditawar.
4. Dan
lain-lain
Apa yang disampaikan oleh Sujiwo Tejo kurang-lebih
adalah perkara yang masih hangat diperbincangkan di Indonesia. Ketiga kutipan
saya di atas adalah gambaran atas kepekaan penulis kepada bangsanya sendiri.
Sebuah pemikiran diambil dari perjalanan sebuah bangsa yang memiliki
paket-paket pemerintahan yang menurut masyarakatnya susah dimengerti.
Seperti buku yang ditulis oleh Sujiwo Tejo dibawah
ini saya tuliskan perkara yang sekarang ini diperbincangkan di banyak media,
yaitu kasus Tenaga Kerja Indonesia. Semoga melalui artikel ini pemerintah serta
masyarakat tidak saling menyalahkan karena perkara tenaga kerja bagaimanapun
harus dilihat melalui beberapa tolak ukur.
Baru-baru ini TKW (
Tenaga kerja Wanita ) asal Indonesia mendapat sanksi hukum mati apabila yang
bersangkutan tidak bisa membayar sejumlah 21 milyar rupiah. Pemerintah dalam
hal ini hanya membantu 10 milyar rupiah, padahal di negara yang mempunyai
tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sudah
seharusnya membantu salah satu warga negaranya dari hukum mati, yakni dengan
membayar 21 milyar rupiah.
Jauh sebelum kasus TKW
yang menipa salah satu saudara kita bernama Satinah negara kita sudah beberapa
kali menggunakan anggaran untuk menyelamatkan TKI. Indonesia seperti sudah jera
harus kembali membayarkan anggarannya untuk kembali menghindarkan hukuman mati
salah satu TKI nya. Maka tujuan negara melindungi segenap bangsa harus
mengorbankan seluruh masyarakat lainnya. Mengapa ? Karena anggaran yang dipakai
adalah milik masyarakat Indonesia dari pembayaran pajak, denda pelanggaran dan
pembayaran-pembayaran lainnya.
Mengingat jatuh tempo
diyat supaya tidak di hukum mati sama dengan tahun pemilu, pada kasus Satinah
para calon legislatif penghuni pohon beramai-ramai ingin menyisihkan dana untuk
membantu. Padahal kita ketahui Satinah bukan satu-satunya saudara kita yang mendapat
hukuman ketika bekerja di negeri orang. Kasus TKW adalah kasus yang sudah lama
terjadi, mengapa baru kali ini ketika hari pemilihan umum semakin dekat mereka
rela ikut turun tangan ?
Pribahasa 'dimana bumi
dipijak disitu langit dijunjung', saya rasa keputusan hukum suatu negara memag
harus diikuti setiap orang yang tinggal dan menetap disana. mungkin suatu saat
para TKI harus bisa memahami dulu segala aturan hukum suatu negara sebelum
berniat untuk kerja disana, agar tidak ada lagi pelaku "korban"
hukuman mati alias Satinah lainnya, meski katanya banyak TKI indonesia yang
menunggu untuk dihukum - Agan Kaskus
Kasus TKW tidak
sepenuhnya salah pemerintah. Di negara yang masih melindungi Hak Asasi Manusia
memang seharusnya negara melindungi hak saudara sebangsa, yaitu hak untuk
hidup. Akan tetapi negara tidak serta-merta memperlakukan protect yang menurut saya berlebihan. Perlu di kaji terlebih dahulu
sistem hukum dan peradilannya dimana tempat mereka berada.
Apakah tenaga kerja
yang dikirimkan legal ? Apakah tenaga kerja kita membunuh dan ada
bukti-buktinya lalu mengakui perbuatannya di depan hukum? Apakah tenaga kerja
kita membunuh dan kemudian sibuk berdalih menutup-nutupi perbuatannya di depan
hukum? Ataukah hanya akal-akalan dari bangsa lain untuk menguras pemerintah
kita menghabur-haburkan anggarannya ?
Jika tenaga kerja
tersebut benar tidak membunuh atau mungkin membunuh karena akan, diperkosa
misalnya. Maka pemerintah sudah seharusnya dan sepantasnya melindungi hak untuk
hidup dari tenaga kerja tersebut. Akan tetapi apabila tenaga kerja sengaja
membunuh karena akan, merampas kekayaan majikan misalnya. Maka tenaga kerja
tersebut harus menjalani hukum sesuai dengan sistem tempat dia bekerja. Dengan
demikian tidak perlu repot-repot mencari juru bicara dan pemerintah tidak perlu
membayar uang diyat, itu merupakan kepentingan pripadi daripada si tenaga
kerja. Masyarakat dan caleg penghuni pohon tidak perlu mengumpulkan dana
sekedar cari simpati. Sekali lagi, TIDAK PERLU....!!!
Karena tidak mungkin
negara main-main dalam membuat sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pertahanan. Termasuk tenaga kerja yang sudah diatur dalam paket sistem
pemerintahan.
SELESAI...