Berangkat dari sebuah rasa yang saya sendiri tidak
menginginkannya. Saya hanya berpikir
bahwa sebenar-benarnya diri saya ialah pribadi yang menginginkan hubungan baik.
Mungkin, kalo boleh mengutip potongan drama di Film , saya punya kemampuan
independen untuk membuat diri sendiri merasa nyaman. Poin pentingnya ialah,
selama yang aku lakukan positif dan aku sendiri nyaman melakukannya, maka akan
aku lakukan.
Tulisan pertama saya ialah tentang kebanggaan kita
semua pada Tim Nasional Indonesia U-19. Bahkan mungkin, rasa haru masih terasa
hingga saat ini. Jadi, saya mengawali publikasi artikel dengan cerita bahagia.
Kemudian, rasa candu saya pada tulisan, membuat artikel terus terbit. Sejauh
yang saya ingat, lima postingan awal bercerita tentang kebahagiaan, salah satu
ialah tentang study tour dan kemudian
tumpahan tangis bahagia saat lulus sekolah menengah pertama. Selayaknya,
sandiwara dunia menyimpan sejuta misteri,adalah hal wajar jika saya sempat
kecewa dengan diri sendiri dan mencurahkannya di sana. Akan tetapi, saya
menanggapi sebuah problematika itu dengan semangat kebangkitan. Nah, paragraph
selanjutnya ialah cerita bahagia, karena saya tidak ingin menghabiskan masa
muda dengan kesedihan.
Tertanggal 29 Mei 2017, saya kembali membuka Microsoft word untuk berbagi cerita.
Waktu itu, saya sangat antusias menuliskannya. Tema artikel yang ditulis di
kala senja itu, ialah kesan yang di dapat setelah saya mengikuti seminar dari
Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Manajemen. Malam ini, saya teringat ada
beberapa hal mengganjal, karena tidak sama sekali terlintas di benak salah satu
pertanyaan penting yang sudah lama menjadi keheranan saya pribadi. Pertanyaan
itu terkait bagaimana opini anak muda berbentuk artikel, bahkan buku, seringkali
kurang dihargai. Namun, sekali lagi, artikel kali ini bukanlah sebuah bentuk
protes dan amarah, saya menanggapi ini sebagai sebuah semangat baru untuk
menjadi pribadi yang makin mengerti nilai-nilai kebenaran.
Sebelum lebih jauh, menanggapi sebuah kritik negatif karya anak muda. Beberapa waktu
lalu, saya tidak sengaja sampai pada sebuah link
yang mengantarkan saya ke sebuah website
indoProgres. Halaman tersebut ialah
wadah semua kalangan menyampaikan alternative solusi terkait problematika
sosial, politik, ekonomi dan semacamnya. Tidak sengaja pula, singgahlah saya di
salah satu artikel karya anak muda bercerita tentang pengetahuan politik
ekoominya. Sebagai pribadi, yang tidak mengerti bidang tersebut, tentunya saya mendapat
banyak ilmu dari sana. Postingan dia bukanlah postingan asal jadi. Banyak data
dan konsep ekonomi yang hanya orang yang mau belajarlah yang akan memahaminya.
Akan tetapi, sesampainya saya di akhir bacaan, terdapat sebuah komentar yang
menyinggung betapa penulis terlalu dini beropini bidang tersebut (komentar saya
perhalus).
Masih dalam kebahagiaan. Masa lalu, yang
menyenangkan berkesempatan belajar yang mungkin tidak semua orang pernah
merasakannya. Kesempatan yang sedari dulu hanyalah sebuah angan-angan yang saya
sendiri tidak percaya terpenuhi secepat itu. Pengalaman yang hingga saat ini
saya syukuri. Kalau ditanya mengapa saya sangat bersyukur, mungkin karena hal
ini menimbulkan kecemburuan, bahkan oleh orang yang tidak saya kenal sekalipun.
Saya tidak ingin panjang lebar terkait masa lalu ini, yang pasti bentuk
kecemburuan dari banyak pihak adalah bahasa lain dari tindakan negatif yang
saya sendiri hanya terkadang senyum tertawa mengingatya. Pun, tidaklah etis
saya bercerita gamblang dengan
tindakan orang lain, sekalipun saya tidak mencantumkan identitasnya. Namun yang
pasti, saya tersenyum karena kalian.
Nah, dua paragraph di atas, walau secara tersiat
ialah gambaran bagaimana segala hal yang dilakukan anak muda, baik beropini
dalam karya atau keluguannya dalam bertindak, sekalipun itu hal positif, masih
saja mendapat kritikan kurang etis. Membangun mental anak muda hanyalah budaya
orang luar. Lihatlah, istilah bullying menjadi
makanan sehari-hari di media sosial. Padahal, teknologi informatka di cipta
sebagai wadah bertukar informasi dan ilmu, yang pastinya positif. Lihatlah
lagi, bagaimana semangatnya anak muda berkarya, justru dicela . Padahal, mutlak
hukumnya, bagaimana semangat menjadi titik mula kemajuan alam pikiran.
Namun, terserah saja, saya yakin, banyak di luar
sana yang masih semangat memluai harinya dengan opini dan karya. Dahulu,
publikasi entri di blogger saya pun, saya mulai dengan tulisan bersemangat dan
kebahagiaan. Akhirnya, saya berharap segala sesuatu juga berakhir dengan
bahagia. Karena, “segala sesuatu yang dimulai dengan bahagia akan berakhir pula dengan
kebahagiaan. Semoga!”